A. Peluang Pasar
Jepang sudah mengimpor manisan jahe kering dari salah satu negara di Asia Tenggara. Pada tanggal 17 Januari 2009 manisan jahe tersebut tampak dijual di sebuah supermarket di Meguro Tokyo. Ketika diamati ketebalan jahe manisan ini sekitar 3 - 4 mm. Jahe kering ditaburi dengan gula pasir, rasanya cukup enak. Mirip manisan pala yang di jual di Bogor. Manisan ini dikemas oleh perusahaan di Jepang, pada plastik tertulis asal negara eksportirnya, tanggal kadaluarsa 11 Maret 2009, cara penyimpanan dan terdapat tanda bahwa kemasan dan kertas labelnya dapat didaur ulang. Dalam satu kemasan plastik yang beratnya 150 gram dipasang bandrol harga 298 yen. Jadi harga per kilogramnya sekitar 1987 yen atau sekitar 200.000 rupiah (Berita Pertanian online,2009).
Di Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur, sejak 3 tahun lalu Mutato Hari rutin menyuling rimpang jahe Zingiber officinale. Pria 38 tahun itu memproduksi 80 kg minyak per bulan untuk memenuhi permintaan eksportir. Alumnus Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surakarta itu memperoleh harga Rp700.000 per kg sehingga omzetnya Rp56-juta. Menurut Mutato biaya produksi per kg minyak mencapai Rp420.000. Biaya terbesar, tentu saja, untuk pengadaan bahan baku. Sebab, rendemen jahe relatif kecil, 1% sehingga untuk menghasilkan 1 kg minyak ia memerlukan 100 kg bahan segar. Pemasok bahan baku adalah para pekebun di Pacitan, Nganjuk, Trenggalek, dan Tulungagung-semua di Provinsi Jawa Timur. Dengan harga beli Rp2.000 per kg, sarjana Teknik Sipil itu harus mengeluarkan Rp200.000 untuk memproduksi 1 kg minyak. Laba bersih Mutato Hari dari penyulingan minyak jahe mencapai Rp22,4-juta sebulan.
Yang juga kewalahan melayani permintaan minyak asiri adalah RA Eti, pemilik PT Pemalang Agro Wangi. Empat tahun terakhir ia mengekspor minyak mawar, melati, jahe, jeruk purut, kemiri, dan nilam. Volume ekspor setiap Juli dan Desember masing-masing 200-300 kg minyak jahe, 10 kg mawar, 5 kg jeruk, 1 kg melati. Selain nilam yang ia suling sendiri, kontinuitas ekspor minyak-minyak asiri itu mengandalkan pasokan para penyuling binaan di berbagai kota. Ibu 5 anak itu lalu mengemas minyak asiri itu dalam botol 10 cc dan 20 cc sesuai permintaan pembeli. Pembeli di Paris, Perancis, sebetulnya tak membatasi volume pengiriman. Namun, Eti mesti membagi dengan pasar domestik. Maklum, setiap bulan 3 pelanggannya datang menjemput beragam minyak asiri. Mereka ekspatriat asal Taiwan, Italia, dan Singapura yang membeli minyak asiri untuk dikirim ke negara masing-masing. Total permintaan mereka rata-rata 1 kg minyak melati, 10 kg jeruk purut, dan 300 kg minyak jahe. 'Prospek minyak asiri baru itu sangat bagus. Seluruh dunia antusias dengan semua minyak asiri Indonesia,' ujar mantan guru SD yang kini eksportir itu.
Mungkin karena itulah Mulyono, eksportir di Jakarta, terus mengembangkan jenis-jenis minyak asiri baru. Separuh dari 20 jenis minyak asiri yang Mulyono suling merupakan jenis minyak baru seperti bangle, jahe, kunyit, lajagua, dan lengkuas. Kepada reporter Trubus Faiz Yajri direktur PT Scent Indonesia itu mengatakan rutin mengekspor 500 kg minyak jahe per bulan. Pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, 21 Desember 1943 itu menuturkan permintaan minyak jahe tak terbatas. Sayang, ia menolak menyebutkan harga jual dan margin dari perniagaan itu (Trubus, 2008).
Berebeda dengan Elviana, alumni Teknik Pertanian IPB dan sekaligus pemilik SKJ Investama ini sedang gencar-gencarnya mencari sentra jahe di seluruh pelosok jawa. Dibantu rekan kuliahnya Malik, Elvi sedang merintis usaha penyulingan minyak jahe. Dalam rangka merealisasikan usahanya mereka sudah membangun kemitraan dengan beberapa petani jahe di Temanggung, Magelang, Jember, dan Banyu Wangi. Bahkan mereka sudah melakukan kontrak kerjasama dengan CV. Sumber Multi Atsiri selaku pembeli minyak jahe. Malik, yang juga alumni beastudi Etos Dompet Dhuafa republika ini mengaku sedang mencari investor untuk bisa mendanai usaha penyulingannya yang senilai Rp. 100.000.00,-. Dia berharap ada investor yang tertarik melirik bisnis yang sekaligus membina petani itu.
Sebagai salah satu komoditas perkebunan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama sebagai bahan rempah-rempah dan obat-abatan tradisional sesungguhnya jahe mempunyai prospek pemasaran yang cukup baik untuk dikembangkan. Apalagi dewasa ini jahe telah menjadi salah satu komoditas ekspor yang permintaannya cukup tinggi dengan harga yang cukup tinggi dibandingkan dengan biaya produksi. Kendala yang ditemui oleh para eksportir adalah pasokan jahe dari sentra-sentra produksi tidak mencukupi dibandingkan dengan pesanan yang diterima. Adapun negara-negara tujuan ekspor adalah Amerikan Serikar, Belanda, Uni Emirat Arab, Pakistan, Jepang, Hongkong. Bahkan Hongkong yang tidak mengembangkan jahe juga telah mengekspor manisan jahe yang dioleh dari jahe yang diimpor dari Indonesia.
B. Deskripsi Jahe
Jahe yang dalam nama latinnya Zingiber officinale, merupakan tanaman rimpang yang sangat terkenal sebagai rempah-rempah dan juga sebagai bahan obat. Jahe mempunyai rimpang dalam bentuk jemari yang menggembung di ruas-ruas tengah. Memiliki rasa pedas yang dominan dikarenakan senyawa keton bernama zingeron. Jahe termasuk dalam suku Zingiberaceae (temu-temuan). Dari sejarahnya, jahe diperkirakan berasal dari India. Tapi ada juga yang mengatakan jahe berasal dari Republik Rakyat Cina Selatan. Dari asalnya itu, kemudian jahe dibawa sebagai rempah perdagangan sampai ke Asia Tenggara. Tiongkok, Jepang hingga Timur Tengah. Lalu pada masa kolonialisme, jahe dengan rasa pedas pada makanan dan khasiat memberi rasa hangat , menjadi komoditas terkenal di Eropa. Dikarenakan jahe hanya bisa hidup di daerah tropis, maka budidaya dan penanamannya hanya bisa dikerjakan di daerah tropis, seperti Asia Tenggara, Brasil, dan Afrika. Untuk saat ini, pemasok jahe terbesar di dunia adalah Equador dan Brasil.
Masyarakat Indonesia umumnya telah mengenal dan memanfaatkan jahe dalam kehidupan sehari-hari untuk berbagai kepentingan, seperti bahan campuran bahan makanan, minuman, kosmetik, parfum dan lain-lain mulai dari tingkat tradisional di masyarakat pedesaan sampai tingkat modern di masyarakat perkotaan. Dalam perkembangannya, kebutuhan komoditas jahe untuk bahan baku industri meningkat terus, sehingga pengadaannya secara teratur, berkualitas baik, cukup dan berkesinambungan makin terasa menjadi suatu keharusan.
C. Jahe di beberapa kota di Indonesia
Sejumlah petani petani jahe dari Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, mengaku pusing, akibat terhambatnya pemasaran. Para petani yang mayoritas tinggal di Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, itu hanya bisa sedih menatap hasil kebunnya teronggok tak terjual. Jika terjual, harganya pun sangat rendah. Potensi jahe dari Ampel itu padahal tergolong besar. Menurut Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Boyolali Cabang Kecamatan Ampel, Yitno Gunarso, sedikitnya 35.000 kilogram atau 35 ton jahe dihasilkan oleh para petani di sana untuk setiap kali panen. “Puluhan ribu kilogram jahe itu dihasilkan oleh sekitar 1.600 orang petani yang mengelola lahan seluas 400 hektare,”kata Yitno Gunarso kepada SH, baru-baru ini. Meski jahe yang diproduksi petani dari Ampel melimpah, tambahnya, para petani mengalami kesulitan ketika hendak memasarkannya.
Selama ini upaya untuk memasarkan jahe-jahe si penghangat badan itu, masih terus mengalami hambatan yang cukup berarti. Kata Yitno lagi, para petani juga sudah tidak kurang-kurangnya akal mengolah jahe yang diproduksinya dalam bentuk berbagai varian produk. Antara lain, selain menjual dalam bentuk umbi, petani di Ampel juga sudah mampu membuat serbuk jahe dan sirup jahe. Varian produk dari jahe itu sebenarnya menarik dan cukup marketable. Namun karena jaringan pasar belum terbentuk dengan baik, varian produk itu tak terlalu menolong. Pernyataan Yitno Gunarso benar adanya. Seorang petani bernama Sujito, asal desa Kembang, Kecamatan Ampel, juga mengeluhkan seperti yang dikatakan Yitno. Menurut laki-laki yang juga menjabat sebagai Sekretaris II Asosiasi Petani Tanaman Obat (APTO) Kabupaten Boyolali itu, dia bersama petani dari desanya mengalami kesulitan menjual hasil panenan jahenya ke pasar dengan harga yang bagus. Sujito mengatakan desanya padahal merupakan salah satu desa yang potensi jahenya sangat bagus di Kecamatan Ampel. Di desanya yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Ibukota Kabupaten Boyolali itu, berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (dpl). Menurutnya, kondisi tanahnya sangat cocok untuk budi daya jahe. Jahe dari Desa Kembang, katanya, telah lama dikenal orang.
Bahkan boleh jadi, jahe dari desa itu telah dinikmati banyak penduduk di seluruh penjuru negeri ini. Baik yang dikonsumsi dalam bentuk umbi untuk dibuat wedang jahe, bentuk serbuk atau jahe olahan dalam bentuk lainnya, misalnya, untuk bahan baku jamu. Bukan hanya itu, sejumlah perusahaan jamu besar dan terkenal yang ada di Jateng, seperti Sido Muncul dan Nyonya Meneer, pernah mengambil jahe dari Kembang, sebagai bahan olahan jamu produksinya. Beberapa masa yang lewat, kedua pabrik jamu tersebut secara rutin membeli jahe yang dihasilkan penduduk Desa Kembang. Kepada pabrik jamu tersebut, kata Sujito, ketika itu petani menjual jahe dalam bentuk irisan yang sudah kering atau petani biasa menyebutnya dengan nama Simplesia. Namun, katanya, kerjasama itu tak bisa berlangsung lama. Hambatan yang terjadi antara lain menyangkut standardisasi pabrik yang dirasa petani sangat berat. Selain sulitnya memenuhi standar kadar air itu, kata Sujito, dia bersama petani yang lain juga belum bisa optimal menghasilkan simplesia. Itu terjadi karena pembuatannya masih dilakukan dengan alat manual (Sinar harapan).
Jahe di Kecamatan Rebang Tangkas dan Kasui, Kabupaten Way Kanan, mengeluh anjloknya harga jahe. Pasalnya, harga jahe hanya Rp1.300/kg. Padahal, sebelumnya harga rempah-rempah ini Rp7.000 hingga Rp9.000/kg. Jika dihitung, kata Mursalin, harga penjualan jahe tidak sebanding dengan biaya penanaman. Sebab, ongkos cabut jahe saja berkisar Rp250/kg. Itu pun belum ditambah ongkos angkutan Rp250/kg. Sehingga, ujar dia, petani hanya mendapatkan hasil Rp800/kg dari harga jual Rp1.300/kg. "Itu juga belum dikurangi biaya pembelian bibit dan pupuk selama penanaman hingga panen," jelas dia. Penurunan harga jahe tersebut juga diakui Faisol, agen pengumpul, sekaligus kepala Kampung Beringin Jaya, kecamatan setempat. Penurunan harga tersebut disebabkan kini hasil perkebunan jahe melimpah. Pihaknya menyuplai jahe rata-rata ke pabrik jamu di daerah Semarang, Surabaya, dan Bali dalam jumlah terbatas. Sekitar 20 sampai 50 truk atau sekitar 300 ton per pekan bergantung permintaan. Ia mengaku sangat prihatin dengan nasib para petani di wilayahnya. Dulu di Pulau Sumatera hanya empat daerah yang menghasilkan jahe, yaitu Rebang Tangkas, Pringsewu, Muaradua, dan Lubuk Linggau. Kalau sekarang sudah menjamur, hampir seluruh wilayah menghasilkan jahe," ujar Faisol (Lampung Pos, 2006).
Ratusan petani dari berbagai sentra produksi tanaman jahe di Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) kini terpuruk dan kemungkinannya tidak akan lagi menanam tanaman hortukltura itu di lahan mereka karena pengaruh anjloknya harga komoditas itu. Kepala Subdin Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sultra, Najamuddin di Kendari mengatakan bahwa komoditas jahe jenis gajah kini hanya bisa dibeli para pedagang di bawah harga Rp1.000 per kg. Padahal sebelumnya berkisar antara Rp 3.000 sampai Rp 3.500 per kg. Menurut dia, salah satu komoditas andalan Sultra itu kini harganya anjlok disebabkan karena daerah tujuan pemasaran antarpulau yakni Surabaya, Jawa Timur untuk sementara menghentikan permintaan jahe dari luar daerahnya. Ia mengatakan, sentra produksi jahe di Sultra terdapat di tiga wilayah yakni Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan, Kecamatan Lasalimu Kabupaten Buton dan Kecamatan Tikep Kabupaten Muna. Ketiga daerah sentra produksi jahe itu, kata dia, kini bersamaan panen dengan beberapa daerah penghasil jaeh di pulau Jawa, sehingga cukup mempengaruhi aktivitas pemasaran jahe antarpulau, khususnya di pasaran Surabaya dan Bali.
Salah seorang petani jahe dari Kecamatan Moramo, Mustajab mengatakan, usaha produksi jahe yang dikembangkannya mengalami kerugian yang cukup besar karena jahe yang ditanam selama 8-9 bulan lamanya saat ini baru dipanen. Namun harga jahe di pasaran anjlok dan tidak sebanding dengan biaya produksi usaha pertanian itu. “Bayangkan saja dalam satu hektar, biaya produksi yang kami harus dikeluarkan mulai dari pembelian bibit, pupuk dan ongkos pekerja mencapai delapan hingga sepuluh juta rupiah. Sementara hasil panen rata-rata di bawah tujuh sampai delapan ton per hektar, sehingga pendapatan yang diperoleh dengan harga Rp1.000 per kilogram berkisar tujuh sampai delapan juta rupiah,” katanya (medan bisnis.com, 2008).
Harga jual jahe di pasaran masih bertahan di titik terendah Rp 1400/kg sehingga petani di Simalungun mengeluh karena menderita rugi sebab harga jual lebih rendah dari biaya produksi. Tumpak Siregar petani jahe di nagori Tigabolon Kecamatan Sidamanik, menguraikan walaupun harga jahe murah Rp 400/kg dia terpaksa menjual jahe miliknya karena sudah cukup usia. Konsekwensinya, siap menderita rugi. Sedangakan harga jual jahe tahun lalu mencapai Rp 8000/kg ditingkat petani. Kasubdis Pertanian Simalungun Ir Akim Purba ketika dikonfirmasi mengakui, anjloknya harga jahe di pasaran disebabkan jahe bukan lagi sebagai komoditi ekspor tapi justru hanya menjadi kebutuhan di dalam negeri saja. Untuk perluasan jaringan pemasaran jahe, Dinas Pertanian Simalungun sedang menjajaki kerja sama dengan eksportir dengan harapan dapat mendongkrak harga jual jahe di tingkat petani hingga mencapai Rp 9.000/kg. kalau ekspor jahe lancar, saya yakin harga jahe di tingkat petani bisa mencapai antara Rp 9-10 ribu/kg,katanya. Sedangkan luas pertanaman jahe tahun 2007 di Simalungun mencapai 2.000 Ha dengan rata-rata produktivitas 22 ton/Ha (Sinar Indonesia baru,2007).
Warga Nagori Dolog Huluan, Kecamatan Raya, Simalungun yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani justru merasa senang. Pasalnya, harga jahe meningkat hingga 50 persen dari harga sebelumnya. Seorang warga, Arles Ambarita (54) kepada METRO, Minggu (12/10) mengaku dengan kenaikan harga jahe masyarakat merasa terbantu. Harga jahe naik menjadi Rp4.000 per kilogram, sebelumnya harga jenis tanaman ini Rp1.700 hingga Rp2.000 per kilogram (Metro Siantar, 2008).
Aroma segar khas jahe sangat terasa menyengat di hidung. Tanah segar yang menempel pada jahe, menunjukkan rimpang umbi itu baru saja digali dari kebun. Memang sengaja jahe tersebut dijemur sebentar agar kadar air sedikit berkurang. Seperti biasa tiap dua minggu sekali, Wiro Sukarto dan Sariyem, menggelar jahe yang siap disetorkan ke Jakarta, tepat di depan Terminal Karangpandan. Sambil memilih dan memilah keduanya tampak kompak menyortir rimpang jahe, lalu dimasukkan ke dalam karung. Sambil menunggu bus yang akan mengangkut dagangannya, keduanya sesekali mengusap peluh yang membasahi wajah yang beranjak keriput karena usia. Siang itu tidak kurang dari 5 kuintal jahe siap dikirim. Sudah 7 tahun ini keduanya menekuni bisnis pemasok jahe ke Jakarta. “Kami sudah punya langganan di Jakarta, kita tinggal pasok jahe tiap dua minggu sekali,” kata Wiro. Dikatakan Wiro, dia mendapatkan jahe dari sejumlah petani di daerah Ngargoyoso. Dia juga mengaku juga menanam jahe, namun tidak terlalu banyak. Mengingat lahan garapan yang dimilikinya sempit. “Berdagang jahe ini hanya sambilan, kalau pekerjaan saya ya bertani,” ungkap Wiro yang diamini Sariyem istrinya. Di tempat kelahirannya Desa Gadungan, Ngargoyoso, mayoritas penduduknya adalah bertani. Sayang, keluh Wiro, harga jahe sudah beberapa bulan ini merosot tajam, dari kisaran Rp 7.000 per kg, menjadi hanya Rp 3.000. “Harga jahe memang naik turun, namun untuk sekarang harganya sedang turun dan itu terjadi sudah lama,” ungkapnya (Harian Joglo Semar,2009).
Contoh Analisis Usaha Budidaya
Perkiraan analisis usaha budidaya jahe seluas 1 ha; yang dilakukan petani pada tahun 1999 di daerah Bogor.
1) Biaya produksi
a. Bibit: 2.000 kg @ Rp. 1.700,- = Rp. 3.400.000,-
b. Pupuk
• Pupuk buatan:
Urea 165 kg @ Rp. 1.100, = Rp. 181.500,-
TSP 160 kg @ Rp. 1800,- = Rp. 288.000,-
KCl 160 kg @ Rp. 1.600,- = Rp. 256.000,-
• Pupuk kandang 3.000 kg @ Rp. 150,- = Rp. 750.000,-
c. Obat 20 kg @ Rp. 15.000,- = Rp. 300.000,-
d. Alat = Rp. 180.000,
e. Bahan (mulsa) 20.000 m @ Rp. 150,- = Rp. 3.000.000,-
f. Tenaga kerja 200 OH = Rp. 2.000.000,-
g. Biaya Lain-lain = Rp. 1.000.000,-
Jumlah biaya produksi = Rp. 11.355.500,-
2) Penerimaan: 10.000 kg @ 1.500,- = Rp. 15.000.000,-
3) Keuntungan usaha tani = Rp. 3.644.500,-
4) Parameter kelayakan usaha
a. B/C rasio = 1,321
Budidaya Jahe
a. Jenis tanaman jahe
Tanaman Jahe dapat dibedakan dari beberapa jenis berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpang yaitu Jahe Putih Kecil, Jahe Putih Besar dan Jahe Merah.
- Jahe Merah disebut juga Jahe Sunti dengan ciri-ciri sebagai berikut : rimpangnya kecil berwarna kuning kemerahan dan seratnya kasar, rasanya sangat pedas dan aromanya sangat tajam.
- Jahe Putih Kecil atau jahe emprit dengan ciri-ciri sebagai berikut : bentuknya pipih, warnanya putih kuning, seratnya lembut dan aromanya lebih tajam dari jahe putih besar.
- Jahe putih Besar lebih dikenal dengan nama Jahe Badak atau Jahe Gajah dengan ciri-ciri sebagai berikut : rimpangnya jauh lebih besar dan ukurannya lebih gemuk tetapi aroma dan rasanya kurang tajam dibanding kedua jenis lainnya.
b. Tanah dan iklim
Agar diperoleh rimpang yang gemuk berdaging, tanaman jahe sebaiknya ditanam di tanah yang banyak mengandung bahan organik atau humus dan drainase yang baik. Jenis tanah yang cocok yaitu tanah andosol dan latosol merah coklat serta keasaman tanah normal (ph : 6 – 7 ).Tanaman jahe umumnya ditanam pada daerah tropik dan sub tropik yang mendapat curah hujan yang agak merata sepanjang tahun dan curah hujan yang cocok berkisar antara 1.500 – 4.000 mm / tahun. Selain itu tanaman jahe paling cocok ditanam pada daerah yang beriklim sejuk dengan ketinggian tempat antara 500 – 1.000 m dari permukaan laut.
c. Pengolahan tanah
Tanah diolah sampai gembur dengan mencangkul sedalam lebih kurang 30 cm. kemudian dibuat saluran drainase agar air tidak tergenang. Setelah tanah diolah kemudian diberi pupuk kandang sebanyak 20 – 30 ton / ha dan di atas pupuk kandang diberikan pupuk SP 36 sebanyak 300 – 400 kg / ha. Untuk tanah yang kandungan liatnya tinggi dapat diberi alas sekam sebanyak 5 ton / ha sebelum diberi pupuk kandang.
d. Pembibitan
Tanaman jahe diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan rimpang. Pemilihan bibit disesuaikan dengan tujuan produksi. Bibit diambil dari potongan rimpang dengan 1 –2 mata tunas yang telah tumbuh, dengan berat 20 – 40 gram untuk jahe putih kecil dan jahe merah sedangkan jahe gajah seberat 25 – 60 gram. Kebutuhan bibit untuk jahe putih kecil dan jahe merah sebanyak 1- 2 ton / ha sedangkan untuk jahe gajah membutuhkan bibit sebanyak 2 – 3 ton / ha. Bila dipanen muda dapat ditanam lebih rapat lagi sehingga kebutuhan bibit lebih banyak yaitu 4 – 6 ton / ha dengan populasi tanaman sekitar 80.000 tanaman / ha. Bagian bibit yang terluka dicelupkan kedalam larutan kental abu dapur atau bisa ditambah fungisida Dithane M 45 atau Benlate.
e. Pemeliharaan
Fase pemeliharaan tanaman merupakan masa yang sangat penting dan menentukan dalam mengahasilkan produksi sesuai dengan yang diharapkan. Penyulaman tanaman dapat dilakukan dua atau tiga minggu setelah tanam untuk mengganti tanaman yang tidak tumbuh atau pertumbuhannya lambat. Pada waktu tiga bulan pertama tanaman jahe memerlukan lingkungan tumbuh yang prima, untuk itu perlu dilakukan penyiangan sebulan sekali. Bersamaan dengan penyiangan juga dilakukan pembumbunan setelah tanaman berumur 2 – 3 bulan. Pemupukan susulan pertama dilakukan satu bulan setelah tanam dengan pupuk urea 400 kg / ha dan KCL sebanyak 300 kg / ha. Pada waktu tanaman berumur tiga bulan dipupuk dengan pupuk urea sebanyak 400 kg / ha. Serangan penyakit tanaman yang paling membahayakan adalah layu bakteri yang sampai saat ini belum ada pestisida yang efektif mengatasi serangannya.
f. Panen
Tanaman jahe umumnya dipanen tua setelah berumur 8 – 10 bulan saat kadar oleoresin optimum ditandai dengan rasa pedas dan bau harum. Khusus untuk jahe gajah bisanya dipanen disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya. Pekebun memanen jahe muda apabila harga sedang tinggi atau berindikasi terserang gejala penyakit, hasilnya berkisar antara 3 – 5 ton / ha. Apabila dipelihara dengan baik jahe gajah dapat menghasilkan 15 – 30.
g. Pasca Panen
Setelah dipanen jahe sesegera mungkin dijual ke pasar, penyimpanan yang kurang baik dan terlalu lama beresiko menimbulkan penyakit pasca panen. Selain itu bila terlalu lama disimpan maka bobot jahe akan berkurang atau susut sampai 10 %.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
saya baru merintis untuk ikutan usaha dibidang rempah-rempah ini, masih bisakah saya ihut mensuplai bahan bakunya
BalasHapusHi Semua saya kurniawan, saya tertarik untuk merintis usaha rempah2, saya punya lahan di daerah Sumatera. Mohon informasi mengenai memulai usahanya.
BalasHapuskurniawansutami@yahoo.com or phone : 08179436580
saya tertarik untuk membeli rempah-rempah, terutama jahe. Kalo ada info hubungi saya di 081221058593 or hmm_138@yahoo.com
BalasHapusSaya ingin Beli jahe 2 Ton...
BalasHapusBagaimana saya menghubungi yang bertugas disana??
apa masih diperlukan jahe nya ??
Hapusmohon segera balasannya... Syukron
BalasHapusJahe dalam kemasan di sini.
BalasHapussaya minat menjadi broker jahe, siapa yg bisa saya hubungi??? selain itu saya juga ingin merintis bisnis jahe di luar negeri.
BalasHapusini kontak saya im.tmlp@gmail.com
saya tunggu infonya, terimakasih! :)
pak saya petani jahe yang mau serius jalin kerja sama 085740549154 daerah purwdadi jawa tengah
Hapusapa masih perlu jahe nya ?
Hapussaya baru mau merintis udidaya jahe, mhon doanya,.,
BalasHapusBibit bli dmn n masa panen brp bulan
Hapussaya butuh jahe dalam jumlah besar..dengan siapa saya bisa berkomunikasi..salam aris 081398806460
BalasHapus