Jumat, 27 Februari 2009

Prospek Cerah Jahe

A. Peluang Pasar
Jepang sudah mengimpor manisan jahe kering dari salah satu negara di Asia Tenggara. Pada tanggal 17 Januari 2009 manisan jahe tersebut tampak dijual di sebuah supermarket di Meguro Tokyo. Ketika diamati ketebalan jahe manisan ini sekitar 3 - 4 mm. Jahe kering ditaburi dengan gula pasir, rasanya cukup enak. Mirip manisan pala yang di jual di Bogor. Manisan ini dikemas oleh perusahaan di Jepang, pada plastik tertulis asal negara eksportirnya, tanggal kadaluarsa 11 Maret 2009, cara penyimpanan dan terdapat tanda bahwa kemasan dan kertas labelnya dapat didaur ulang. Dalam satu kemasan plastik yang beratnya 150 gram dipasang bandrol harga 298 yen. Jadi harga per kilogramnya sekitar 1987 yen atau sekitar 200.000 rupiah (Berita Pertanian online,2009).
Di Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur, sejak 3 tahun lalu Mutato Hari rutin menyuling rimpang jahe Zingiber officinale. Pria 38 tahun itu memproduksi 80 kg minyak per bulan untuk memenuhi permintaan eksportir. Alumnus Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surakarta itu memperoleh harga Rp700.000 per kg sehingga omzetnya Rp56-juta. Menurut Mutato biaya produksi per kg minyak mencapai Rp420.000. Biaya terbesar, tentu saja, untuk pengadaan bahan baku. Sebab, rendemen jahe relatif kecil, 1% sehingga untuk menghasilkan 1 kg minyak ia memerlukan 100 kg bahan segar. Pemasok bahan baku adalah para pekebun di Pacitan, Nganjuk, Trenggalek, dan Tulungagung-semua di Provinsi Jawa Timur. Dengan harga beli Rp2.000 per kg, sarjana Teknik Sipil itu harus mengeluarkan Rp200.000 untuk memproduksi 1 kg minyak. Laba bersih Mutato Hari dari penyulingan minyak jahe mencapai Rp22,4-juta sebulan.
Yang juga kewalahan melayani permintaan minyak asiri adalah RA Eti, pemilik PT Pemalang Agro Wangi. Empat tahun terakhir ia mengekspor minyak mawar, melati, jahe, jeruk purut, kemiri, dan nilam. Volume ekspor setiap Juli dan Desember masing-masing 200-300 kg minyak jahe, 10 kg mawar, 5 kg jeruk, 1 kg melati. Selain nilam yang ia suling sendiri, kontinuitas ekspor minyak-minyak asiri itu mengandalkan pasokan para penyuling binaan di berbagai kota. Ibu 5 anak itu lalu mengemas minyak asiri itu dalam botol 10 cc dan 20 cc sesuai permintaan pembeli. Pembeli di Paris, Perancis, sebetulnya tak membatasi volume pengiriman. Namun, Eti mesti membagi dengan pasar domestik. Maklum, setiap bulan 3 pelanggannya datang menjemput beragam minyak asiri. Mereka ekspatriat asal Taiwan, Italia, dan Singapura yang membeli minyak asiri untuk dikirim ke negara masing-masing. Total permintaan mereka rata-rata 1 kg minyak melati, 10 kg jeruk purut, dan 300 kg minyak jahe. 'Prospek minyak asiri baru itu sangat bagus. Seluruh dunia antusias dengan semua minyak asiri Indonesia,' ujar mantan guru SD yang kini eksportir itu.
Mungkin karena itulah Mulyono, eksportir di Jakarta, terus mengembangkan jenis-jenis minyak asiri baru. Separuh dari 20 jenis minyak asiri yang Mulyono suling merupakan jenis minyak baru seperti bangle, jahe, kunyit, lajagua, dan lengkuas. Kepada reporter Trubus Faiz Yajri direktur PT Scent Indonesia itu mengatakan rutin mengekspor 500 kg minyak jahe per bulan. Pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, 21 Desember 1943 itu menuturkan permintaan minyak jahe tak terbatas. Sayang, ia menolak menyebutkan harga jual dan margin dari perniagaan itu (Trubus, 2008).
Berebeda dengan Elviana, alumni Teknik Pertanian IPB dan sekaligus pemilik SKJ Investama ini sedang gencar-gencarnya mencari sentra jahe di seluruh pelosok jawa. Dibantu rekan kuliahnya Malik, Elvi sedang merintis usaha penyulingan minyak jahe. Dalam rangka merealisasikan usahanya mereka sudah membangun kemitraan dengan beberapa petani jahe di Temanggung, Magelang, Jember, dan Banyu Wangi. Bahkan mereka sudah melakukan kontrak kerjasama dengan CV. Sumber Multi Atsiri selaku pembeli minyak jahe. Malik, yang juga alumni beastudi Etos Dompet Dhuafa republika ini mengaku sedang mencari investor untuk bisa mendanai usaha penyulingannya yang senilai Rp. 100.000.00,-. Dia berharap ada investor yang tertarik melirik bisnis yang sekaligus membina petani itu.
Sebagai salah satu komoditas perkebunan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama sebagai bahan rempah-rempah dan obat-abatan tradisional sesungguhnya jahe mempunyai prospek pemasaran yang cukup baik untuk dikembangkan. Apalagi dewasa ini jahe telah menjadi salah satu komoditas ekspor yang permintaannya cukup tinggi dengan harga yang cukup tinggi dibandingkan dengan biaya produksi. Kendala yang ditemui oleh para eksportir adalah pasokan jahe dari sentra-sentra produksi tidak mencukupi dibandingkan dengan pesanan yang diterima. Adapun negara-negara tujuan ekspor adalah Amerikan Serikar, Belanda, Uni Emirat Arab, Pakistan, Jepang, Hongkong. Bahkan Hongkong yang tidak mengembangkan jahe juga telah mengekspor manisan jahe yang dioleh dari jahe yang diimpor dari Indonesia.

B. Deskripsi Jahe
Jahe yang dalam nama latinnya Zingiber officinale, merupakan tanaman rimpang yang sangat terkenal sebagai rempah-rempah dan juga sebagai bahan obat. Jahe mempunyai rimpang dalam bentuk jemari yang menggembung di ruas-ruas tengah. Memiliki rasa pedas yang dominan dikarenakan senyawa keton bernama zingeron. Jahe termasuk dalam suku Zingiberaceae (temu-temuan). Dari sejarahnya, jahe diperkirakan berasal dari India. Tapi ada juga yang mengatakan jahe berasal dari Republik Rakyat Cina Selatan. Dari asalnya itu, kemudian jahe dibawa sebagai rempah perdagangan sampai ke Asia Tenggara. Tiongkok, Jepang hingga Timur Tengah. Lalu pada masa kolonialisme, jahe dengan rasa pedas pada makanan dan khasiat memberi rasa hangat , menjadi komoditas terkenal di Eropa. Dikarenakan jahe hanya bisa hidup di daerah tropis, maka budidaya dan penanamannya hanya bisa dikerjakan di daerah tropis, seperti Asia Tenggara, Brasil, dan Afrika. Untuk saat ini, pemasok jahe terbesar di dunia adalah Equador dan Brasil.
Masyarakat Indonesia umumnya telah mengenal dan memanfaatkan jahe dalam kehidupan sehari-hari untuk berbagai kepentingan, seperti bahan campuran bahan makanan, minuman, kosmetik, parfum dan lain-lain mulai dari tingkat tradisional di masyarakat pedesaan sampai tingkat modern di masyarakat perkotaan. Dalam perkembangannya, kebutuhan komoditas jahe untuk bahan baku industri meningkat terus, sehingga pengadaannya secara teratur, berkualitas baik, cukup dan berkesinambungan makin terasa menjadi suatu keharusan.

C. Jahe di beberapa kota di Indonesia
Sejumlah petani petani jahe dari Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, mengaku pusing, akibat terhambatnya pemasaran. Para petani yang mayoritas tinggal di Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, itu hanya bisa sedih menatap hasil kebunnya teronggok tak terjual. Jika terjual, harganya pun sangat rendah. Potensi jahe dari Ampel itu padahal tergolong besar. Menurut Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Boyolali Cabang Kecamatan Ampel, Yitno Gunarso, sedikitnya 35.000 kilogram atau 35 ton jahe dihasilkan oleh para petani di sana untuk setiap kali panen. “Puluhan ribu kilogram jahe itu dihasilkan oleh sekitar 1.600 orang petani yang mengelola lahan seluas 400 hektare,”kata Yitno Gunarso kepada SH, baru-baru ini. Meski jahe yang diproduksi petani dari Ampel melimpah, tambahnya, para petani mengalami kesulitan ketika hendak memasarkannya.
Selama ini upaya untuk memasarkan jahe-jahe si penghangat badan itu, masih terus mengalami hambatan yang cukup berarti. Kata Yitno lagi, para petani juga sudah tidak kurang-kurangnya akal mengolah jahe yang diproduksinya dalam bentuk berbagai varian produk. Antara lain, selain menjual dalam bentuk umbi, petani di Ampel juga sudah mampu membuat serbuk jahe dan sirup jahe. Varian produk dari jahe itu sebenarnya menarik dan cukup marketable. Namun karena jaringan pasar belum terbentuk dengan baik, varian produk itu tak terlalu menolong. Pernyataan Yitno Gunarso benar adanya. Seorang petani bernama Sujito, asal desa Kembang, Kecamatan Ampel, juga mengeluhkan seperti yang dikatakan Yitno. Menurut laki-laki yang juga menjabat sebagai Sekretaris II Asosiasi Petani Tanaman Obat (APTO) Kabupaten Boyolali itu, dia bersama petani dari desanya mengalami kesulitan menjual hasil panenan jahenya ke pasar dengan harga yang bagus. Sujito mengatakan desanya padahal merupakan salah satu desa yang potensi jahenya sangat bagus di Kecamatan Ampel. Di desanya yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Ibukota Kabupaten Boyolali itu, berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (dpl). Menurutnya, kondisi tanahnya sangat cocok untuk budi daya jahe. Jahe dari Desa Kembang, katanya, telah lama dikenal orang.
Bahkan boleh jadi, jahe dari desa itu telah dinikmati banyak penduduk di seluruh penjuru negeri ini. Baik yang dikonsumsi dalam bentuk umbi untuk dibuat wedang jahe, bentuk serbuk atau jahe olahan dalam bentuk lainnya, misalnya, untuk bahan baku jamu. Bukan hanya itu, sejumlah perusahaan jamu besar dan terkenal yang ada di Jateng, seperti Sido Muncul dan Nyonya Meneer, pernah mengambil jahe dari Kembang, sebagai bahan olahan jamu produksinya. Beberapa masa yang lewat, kedua pabrik jamu tersebut secara rutin membeli jahe yang dihasilkan penduduk Desa Kembang. Kepada pabrik jamu tersebut, kata Sujito, ketika itu petani menjual jahe dalam bentuk irisan yang sudah kering atau petani biasa menyebutnya dengan nama Simplesia. Namun, katanya, kerjasama itu tak bisa berlangsung lama. Hambatan yang terjadi antara lain menyangkut standardisasi pabrik yang dirasa petani sangat berat. Selain sulitnya memenuhi standar kadar air itu, kata Sujito, dia bersama petani yang lain juga belum bisa optimal menghasilkan simplesia. Itu terjadi karena pembuatannya masih dilakukan dengan alat manual (Sinar harapan).
Jahe di Kecamatan Rebang Tangkas dan Kasui, Kabupaten Way Kanan, mengeluh anjloknya harga jahe. Pasalnya, harga jahe hanya Rp1.300/kg. Padahal, sebelumnya harga rempah-rempah ini Rp7.000 hingga Rp9.000/kg. Jika dihitung, kata Mursalin, harga penjualan jahe tidak sebanding dengan biaya penanaman. Sebab, ongkos cabut jahe saja berkisar Rp250/kg. Itu pun belum ditambah ongkos angkutan Rp250/kg. Sehingga, ujar dia, petani hanya mendapatkan hasil Rp800/kg dari harga jual Rp1.300/kg. "Itu juga belum dikurangi biaya pembelian bibit dan pupuk selama penanaman hingga panen," jelas dia. Penurunan harga jahe tersebut juga diakui Faisol, agen pengumpul, sekaligus kepala Kampung Beringin Jaya, kecamatan setempat. Penurunan harga tersebut disebabkan kini hasil perkebunan jahe melimpah. Pihaknya menyuplai jahe rata-rata ke pabrik jamu di daerah Semarang, Surabaya, dan Bali dalam jumlah terbatas. Sekitar 20 sampai 50 truk atau sekitar 300 ton per pekan bergantung permintaan. Ia mengaku sangat prihatin dengan nasib para petani di wilayahnya. Dulu di Pulau Sumatera hanya empat daerah yang menghasilkan jahe, yaitu Rebang Tangkas, Pringsewu, Muaradua, dan Lubuk Linggau. Kalau sekarang sudah menjamur, hampir seluruh wilayah menghasilkan jahe," ujar Faisol (Lampung Pos, 2006).
Ratusan petani dari berbagai sentra produksi tanaman jahe di Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) kini terpuruk dan kemungkinannya tidak akan lagi menanam tanaman hortukltura itu di lahan mereka karena pengaruh anjloknya harga komoditas itu. Kepala Subdin Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sultra, Najamuddin di Kendari mengatakan bahwa komoditas jahe jenis gajah kini hanya bisa dibeli para pedagang di bawah harga Rp1.000 per kg. Padahal sebelumnya berkisar antara Rp 3.000 sampai Rp 3.500 per kg. Menurut dia, salah satu komoditas andalan Sultra itu kini harganya anjlok disebabkan karena daerah tujuan pemasaran antarpulau yakni Surabaya, Jawa Timur untuk sementara menghentikan permintaan jahe dari luar daerahnya. Ia mengatakan, sentra produksi jahe di Sultra terdapat di tiga wilayah yakni Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan, Kecamatan Lasalimu Kabupaten Buton dan Kecamatan Tikep Kabupaten Muna. Ketiga daerah sentra produksi jahe itu, kata dia, kini bersamaan panen dengan beberapa daerah penghasil jaeh di pulau Jawa, sehingga cukup mempengaruhi aktivitas pemasaran jahe antarpulau, khususnya di pasaran Surabaya dan Bali.
Salah seorang petani jahe dari Kecamatan Moramo, Mustajab mengatakan, usaha produksi jahe yang dikembangkannya mengalami kerugian yang cukup besar karena jahe yang ditanam selama 8-9 bulan lamanya saat ini baru dipanen. Namun harga jahe di pasaran anjlok dan tidak sebanding dengan biaya produksi usaha pertanian itu. “Bayangkan saja dalam satu hektar, biaya produksi yang kami harus dikeluarkan mulai dari pembelian bibit, pupuk dan ongkos pekerja mencapai delapan hingga sepuluh juta rupiah. Sementara hasil panen rata-rata di bawah tujuh sampai delapan ton per hektar, sehingga pendapatan yang diperoleh dengan harga Rp1.000 per kilogram berkisar tujuh sampai delapan juta rupiah,” katanya (medan bisnis.com, 2008).
Harga jual jahe di pasaran masih bertahan di titik terendah Rp 1400/kg sehingga petani di Simalungun mengeluh karena menderita rugi sebab harga jual lebih rendah dari biaya produksi. Tumpak Siregar petani jahe di nagori Tigabolon Kecamatan Sidamanik, menguraikan walaupun harga jahe murah Rp 400/kg dia terpaksa menjual jahe miliknya karena sudah cukup usia. Konsekwensinya, siap menderita rugi. Sedangakan harga jual jahe tahun lalu mencapai Rp 8000/kg ditingkat petani. Kasubdis Pertanian Simalungun Ir Akim Purba ketika dikonfirmasi mengakui, anjloknya harga jahe di pasaran disebabkan jahe bukan lagi sebagai komoditi ekspor tapi justru hanya menjadi kebutuhan di dalam negeri saja. Untuk perluasan jaringan pemasaran jahe, Dinas Pertanian Simalungun sedang menjajaki kerja sama dengan eksportir dengan harapan dapat mendongkrak harga jual jahe di tingkat petani hingga mencapai Rp 9.000/kg. kalau ekspor jahe lancar, saya yakin harga jahe di tingkat petani bisa mencapai antara Rp 9-10 ribu/kg,katanya. Sedangkan luas pertanaman jahe tahun 2007 di Simalungun mencapai 2.000 Ha dengan rata-rata produktivitas 22 ton/Ha (Sinar Indonesia baru,2007).
Warga Nagori Dolog Huluan, Kecamatan Raya, Simalungun yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani justru merasa senang. Pasalnya, harga jahe meningkat hingga 50 persen dari harga sebelumnya. Seorang warga, Arles Ambarita (54) kepada METRO, Minggu (12/10) mengaku dengan kenaikan harga jahe masyarakat merasa terbantu. Harga jahe naik menjadi Rp4.000 per kilogram, sebelumnya harga jenis tanaman ini Rp1.700 hingga Rp2.000 per kilogram (Metro Siantar, 2008).
Aroma segar khas jahe sangat terasa menyengat di hidung. Tanah segar yang menempel pada jahe, menunjukkan rimpang umbi itu baru saja digali dari kebun. Memang sengaja jahe tersebut dijemur sebentar agar kadar air sedikit berkurang. Seperti biasa tiap dua minggu sekali, Wiro Sukarto dan Sariyem, menggelar jahe yang siap disetorkan ke Jakarta, tepat di depan Terminal Karangpandan. Sambil memilih dan memilah keduanya tampak kompak menyortir rimpang jahe, lalu dimasukkan ke dalam karung. Sambil menunggu bus yang akan mengangkut dagangannya, keduanya sesekali mengusap peluh yang membasahi wajah yang beranjak keriput karena usia. Siang itu tidak kurang dari 5 kuintal jahe siap dikirim. Sudah 7 tahun ini keduanya menekuni bisnis pemasok jahe ke Jakarta. “Kami sudah punya langganan di Jakarta, kita tinggal pasok jahe tiap dua minggu sekali,” kata Wiro. Dikatakan Wiro, dia mendapatkan jahe dari sejumlah petani di daerah Ngargoyoso. Dia juga mengaku juga menanam jahe, namun tidak terlalu banyak. Mengingat lahan garapan yang dimilikinya sempit. “Berdagang jahe ini hanya sambilan, kalau pekerjaan saya ya bertani,” ungkap Wiro yang diamini Sariyem istrinya. Di tempat kelahirannya Desa Gadungan, Ngargoyoso, mayoritas penduduknya adalah bertani. Sayang, keluh Wiro, harga jahe sudah beberapa bulan ini merosot tajam, dari kisaran Rp 7.000 per kg, menjadi hanya Rp 3.000. “Harga jahe memang naik turun, namun untuk sekarang harganya sedang turun dan itu terjadi sudah lama,” ungkapnya (Harian Joglo Semar,2009).

Contoh Analisis Usaha Budidaya
Perkiraan analisis usaha budidaya jahe seluas 1 ha; yang dilakukan petani pada tahun 1999 di daerah Bogor.
1) Biaya produksi
a. Bibit: 2.000 kg @ Rp. 1.700,- = Rp. 3.400.000,-
b. Pupuk
• Pupuk buatan:
Urea 165 kg @ Rp. 1.100, = Rp. 181.500,-
TSP 160 kg @ Rp. 1800,- = Rp. 288.000,-
KCl 160 kg @ Rp. 1.600,- = Rp. 256.000,-
• Pupuk kandang 3.000 kg @ Rp. 150,- = Rp. 750.000,-
c. Obat 20 kg @ Rp. 15.000,- = Rp. 300.000,-
d. Alat = Rp. 180.000,
e. Bahan (mulsa) 20.000 m @ Rp. 150,- = Rp. 3.000.000,-
f. Tenaga kerja 200 OH = Rp. 2.000.000,-
g. Biaya Lain-lain = Rp. 1.000.000,-
Jumlah biaya produksi = Rp. 11.355.500,-
2) Penerimaan: 10.000 kg @ 1.500,- = Rp. 15.000.000,-
3) Keuntungan usaha tani = Rp. 3.644.500,-
4) Parameter kelayakan usaha
a. B/C rasio = 1,321
Budidaya Jahe
a. Jenis tanaman jahe
Tanaman Jahe dapat dibedakan dari beberapa jenis berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpang yaitu Jahe Putih Kecil, Jahe Putih Besar dan Jahe Merah.
- Jahe Merah disebut juga Jahe Sunti dengan ciri-ciri sebagai berikut : rimpangnya kecil berwarna kuning kemerahan dan seratnya kasar, rasanya sangat pedas dan aromanya sangat tajam.
- Jahe Putih Kecil atau jahe emprit dengan ciri-ciri sebagai berikut : bentuknya pipih, warnanya putih kuning, seratnya lembut dan aromanya lebih tajam dari jahe putih besar.
- Jahe putih Besar lebih dikenal dengan nama Jahe Badak atau Jahe Gajah dengan ciri-ciri sebagai berikut : rimpangnya jauh lebih besar dan ukurannya lebih gemuk tetapi aroma dan rasanya kurang tajam dibanding kedua jenis lainnya.
b. Tanah dan iklim
Agar diperoleh rimpang yang gemuk berdaging, tanaman jahe sebaiknya ditanam di tanah yang banyak mengandung bahan organik atau humus dan drainase yang baik. Jenis tanah yang cocok yaitu tanah andosol dan latosol merah coklat serta keasaman tanah normal (ph : 6 – 7 ).Tanaman jahe umumnya ditanam pada daerah tropik dan sub tropik yang mendapat curah hujan yang agak merata sepanjang tahun dan curah hujan yang cocok berkisar antara 1.500 – 4.000 mm / tahun. Selain itu tanaman jahe paling cocok ditanam pada daerah yang beriklim sejuk dengan ketinggian tempat antara 500 – 1.000 m dari permukaan laut.
c. Pengolahan tanah
Tanah diolah sampai gembur dengan mencangkul sedalam lebih kurang 30 cm. kemudian dibuat saluran drainase agar air tidak tergenang. Setelah tanah diolah kemudian diberi pupuk kandang sebanyak 20 – 30 ton / ha dan di atas pupuk kandang diberikan pupuk SP 36 sebanyak 300 – 400 kg / ha. Untuk tanah yang kandungan liatnya tinggi dapat diberi alas sekam sebanyak 5 ton / ha sebelum diberi pupuk kandang.
d. Pembibitan
Tanaman jahe diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan rimpang. Pemilihan bibit disesuaikan dengan tujuan produksi. Bibit diambil dari potongan rimpang dengan 1 –2 mata tunas yang telah tumbuh, dengan berat 20 – 40 gram untuk jahe putih kecil dan jahe merah sedangkan jahe gajah seberat 25 – 60 gram. Kebutuhan bibit untuk jahe putih kecil dan jahe merah sebanyak 1- 2 ton / ha sedangkan untuk jahe gajah membutuhkan bibit sebanyak 2 – 3 ton / ha. Bila dipanen muda dapat ditanam lebih rapat lagi sehingga kebutuhan bibit lebih banyak yaitu 4 – 6 ton / ha dengan populasi tanaman sekitar 80.000 tanaman / ha. Bagian bibit yang terluka dicelupkan kedalam larutan kental abu dapur atau bisa ditambah fungisida Dithane M 45 atau Benlate.
e. Pemeliharaan
Fase pemeliharaan tanaman merupakan masa yang sangat penting dan menentukan dalam mengahasilkan produksi sesuai dengan yang diharapkan. Penyulaman tanaman dapat dilakukan dua atau tiga minggu setelah tanam untuk mengganti tanaman yang tidak tumbuh atau pertumbuhannya lambat. Pada waktu tiga bulan pertama tanaman jahe memerlukan lingkungan tumbuh yang prima, untuk itu perlu dilakukan penyiangan sebulan sekali. Bersamaan dengan penyiangan juga dilakukan pembumbunan setelah tanaman berumur 2 – 3 bulan. Pemupukan susulan pertama dilakukan satu bulan setelah tanam dengan pupuk urea 400 kg / ha dan KCL sebanyak 300 kg / ha. Pada waktu tanaman berumur tiga bulan dipupuk dengan pupuk urea sebanyak 400 kg / ha. Serangan penyakit tanaman yang paling membahayakan adalah layu bakteri yang sampai saat ini belum ada pestisida yang efektif mengatasi serangannya.
f. Panen
Tanaman jahe umumnya dipanen tua setelah berumur 8 – 10 bulan saat kadar oleoresin optimum ditandai dengan rasa pedas dan bau harum. Khusus untuk jahe gajah bisanya dipanen disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya. Pekebun memanen jahe muda apabila harga sedang tinggi atau berindikasi terserang gejala penyakit, hasilnya berkisar antara 3 – 5 ton / ha. Apabila dipelihara dengan baik jahe gajah dapat menghasilkan 15 – 30.
g. Pasca Panen
Setelah dipanen jahe sesegera mungkin dijual ke pasar, penyimpanan yang kurang baik dan terlalu lama beresiko menimbulkan penyakit pasca panen. Selain itu bila terlalu lama disimpan maka bobot jahe akan berkurang atau susut sampai 10 %.

Rabu, 25 Februari 2009

Bawang Negeri ku....

Sekitar pertengahan abad ke-17, tepatnya tahun 1665, wabah sampar (pes) melanda Inggris dengan hebatnya. Ribuan penduduk meninggal dunia dan ribuan lagi terpaksa mendapat perawatan intensif. Wabah ini telah menjalar ke seluruh pelosok Eropa dan menjadi momok yang mengerikan pada waktu itu bahkan menyeberang sampai daratan Amerika. Di tengah-tengah kekalutan itu terjadi keanehan pada sebuah rumah di daerah Chester, Inggris yang seluruh penghuni rumahnya selamat dari wabah tersebut. Konon menurut cacatan sejarah, keluarga tersebut mengkonsumsi bawang putih. Bagi bangsa Roma, bawang putih bahkan dianggap sebagai sumber kekuatan. Tentara Roma yang terkenal gagah perkasa di medan pertempuran ternyata tidak dapat berpisah dengan bawang putih. Dalam perang dunia pertama dan keduapun, bawang putih berperan bagi para prajurit yang terluka.
Bawang putih adalah nama tanaman dari genus Allium yang termasuk kedalam famili Amaryllidaceae banyak dipergunakan sebagai obat tradisional guna mengatasi penyakit gatal-gatal, cacingan, insektisida, dan sebagainya.( Wibowo ,1982; Santoso, 1989 ; Spencer dikutip oleh Purnomowati et al., 1992). Bawang putih adalah tanaman yang mempunyai akar serabut, daunnya panjang berbentuk pipih dan berwarna hijau. Umbi terdiri dari 9-20 siung dan tersusun secara berlapis lapis dan sering disebut dengan tanaman berumbi lapis; antar siung yang satu dengan siung yang lainnya dipisahkan oleh kulit yang tipis sehingga membentuk satu kesatuan yang rapat (SANTOSA, 1988). Bawang putih dengan aroma yang pedas dan harum banyak dilaporkan sebagai penyedap makanan dan bumbu masak. Umbinya mengandung banyak zat yang bersifat membunuh kuman dan penawar racun sehingga banyak digunakan untuk pengobatan. Bawang putih dengan nama Allium sativum L termasuk tanaman herbs yaitu tumbuhan berbatang lunak yang digunakan sebagai rempah (HEAT, 1981). BRODNITZ et al. (1971) menyatakan bahwa komponen sulfur bawang putih tidak hanya memberikan flavour khas tetapi juga sebagai senyawa biologis aktif. Bawang putih memiliki citarasa yang sangat khas yang ditimbulkan oleh komponen sulfur yang ada dalam minyak volatil bawang putih dengan aroma dan rasa pedas. Menurut BLOCK (1985) dialil disulfide pada bawang putih dapat menghambat pembentukan kolesterol dan asam lemak yang merupakan perangsang timbulnya penyakit jantung dan dapat melindungi tubuh dari serangan kanker. Sedangkan dialil trisulfida dapat mencegah infeksi dan radang selaput otak atau sumsum tulang. SANTOSA (1991) melaporkan bahwa bawang putih mengandung beberapa senyawa aktif antara lain: allisin mempunyai daya anti bakteri dan anti radang. Selenium suatu mikro mineral sebagai anti oksidan dan mencegah terbentuknya gumpalan darah yang dapat mennyumbat pembuluh darah ke otak. Germanium seperti selenium bersifat anti kanker dapat menghambat dan memusnahkan sel sel kanker didalam tubuh. Metilatil trisulfida mencegah penyumbatan yang menghambat aliran darah ke jantung dan otak. Semmler dikutip Watanabe (1998) menyatakan bahwa bawang putih banyak mengandung bahan kimia yang dapat berperanan dalam melawan penyakit, diantaranya adalah : Dialil disulfida, Vialil trisulfida, Propil alildisulfida, dan Monosulfida.
Masyarakat Indonesia sendiri sudah lama mengenal dan memanfaatkan bawang putih (Allium sativum) dalam kehidupannya, karena bawang putih sudah biasa dimanfaatkan sebagai bumbu masak dan bahan obat-obatan. Di Sunda, orang menyebutnya bawang bodas. Orang Madura menyebutnya bhabang pote. Di daerah lain, namanya bawang pulak (Tarakan), lasuna moputih (Minahasa), pia moputi (Gorontalo), lasuna kebo (Makassar), bawa de are (Halmahera), bawa bodudo (Ternate), bawa fiufer (Papua), lasuna (Karo), kesuna (Bali). Jenis bawang putih unggul yang dibudidayakan di Indonesia adalah lumbu hijau dan lumbu kuning yang tumbuh di dataran tinggi, dan lumbu putih untuk di dataran rendah. Varietas lain yang merupakan hasil modifikasi ketiga varietas itu juga berkembang di berbagai daerah dengan mengusung nama lain, seperti bawang jenis cirebon, tawangmangu, santong, sumbawa, jatibarang, bogor, obleg, idocos (Filipina), dan thailand. Ada lagi varietas bawang putih yang disebut bawang lanang. Ini adalah bawang yang hanya terdiri dari satu siung. Sesungguhnya, bawang lanang ini merupakan bawang putih biasa yang tumbuh di lingkungan yang tak sesuai. Alhasil, bawang ini tak berkembang dengan baik, dan hanya berkembang satu siung.
Pada dekade 80-an bawang putih pernah menjadi komoditas unggulan di beberapa sentra produksi, seperti di provinsi Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Saat tersebut pada lokasi yang cocok secara agroekosistem, petani sangat tertarik menanam bawang putih karena mempunyai nilai ekonomis tinggi dan tidak ada saingan dari impor, sehingga menjadi pilihan agribisnis yang menguntungkan dan menjadi andalan pendapatan. Disamping itu bawang putih produksi dari daerah tertentu dianggap punyai khasiat obat khusus, seperti halnya bawang putih tunggal dari NTB, yang akhirnya memberikan harga khusus bagi produsennya.
Sebuah riset pasar menyebutkan bahwa bawang putih adalah suplemen utama rempah-rempah yang dikonsumsi oleh keluarga di USA. Beberapa produk bawang putih yang telah dikomersialkan adalah garlic essential oil, garlic oil macerated oil, garlic powder, dan age garlic extract (AGE). Diantara beberapa komponen bioaktif yang terdapat pada bawang putih, senyawa sulfida adalah senyawa yang banyak jumlahnya. Senyawa-senyawa tersebut antara lain adalah dialil sulfida atau dalam bentuk teroksidasi disebut dengan alisin. Sama seperti senyawa fenolik lainnya, alisin mempunyai fungsi fisiologis yang sangat luas, termasuk diantaranya adalah antioksidan, antikanker, antitrombotik, antiradang, penurunan tekanan darah, dan dapat menurunkan kolesterol darah.
Di Cirebon ada industri kecil yang menghasilkan kerupuk bawang putih. Ibu Yani Yuliani adalah salah satu penjual kerupuk bawang putih. Menurut beliau bahwa kerupuk bawang putih memang belum terlalu dikenal masyarakat dan pemasarannyapun masih terbatas. Kebanyakan konsumen kerupuk ini adalah warga keturunan arab. Kerupuk bawang putih dijual dengan harga Rp 20.000,/kg. Saat ini kerupuk bawang putih sudah mulai bisa diperoleh melalui beberapa supermarket di Cirebon dan sekitarnya, tambah beliau. Saat ditanya kemungkinan ekspor “ belum sampai kearah sana karena usaha ini masih kecil dan kerupuk bawang putih juga cuma salah satu produk dari berbagai produk kerupuk yang dijual”jelas beliau. Setidak usaha ini telah menjadi solusi yang mungkin bisa ditawarkan disamping pengolahan produk pasca panen bawang putih lain seperti mengolahnya menjadi tepung, minyak, dll.
Di Tawangmangu, bawang putih merupakan salah satu komoditas unggulan masyarakat.

Dengan berbagai kelebihannya, komoditas tersebut telah mampu mengangkat taraf hidup masyarakat petani. Faktor ketersediaan lahan, kecukupan air irigasi, iklim yang mendukung serta kemauan keras dari para petani merupakan beberapa unsur yang mendukung usaha tani tersebut. Masa keemasan Bawang Putih di Tawangmangu telah berjalan sejak nenek moyang petani hingga sekitar tahun 1996. Pada periode tahun 1996 sampai sekarang masa kejayaan komoditas unggulan masyarakat petani tersebut mulai surut. Hal ini diakibatkan oleh adanya wabah penyakit umbi busuk yang menyerang tanaman bawang putih pada umur 80-90 hari, pada saat daun tanaman sudah tumbuh subur. Jika terkena penyakit tersebut, tanaman menjadi layu dan kemudian mati. Hal ini berdampak pada kerugian besar bagi petani, khususnya dari pengeluaran biaya bibit, pestisida, pupuk dan tenaga. Kondisi ini dialami oleh sebagian besar petani di Kelurahan Blumbang dan sekitarnya yang berdampak pada anjloknya pasokan komoditas bawang putih tawangmangu di pasaran. Sejak saat itu sebagian besar petani sudah tidak lagi menanam komoditas tersebut. Hal lain yang patut dikhawatirkan adalah ketersediaan bibit bawang putih saat ini sudah jauh berkurang dan terancam punah, padahal tadinya bibit tersebut mampu dibudidayakan oleh petani sendiri.
Kebutuhan bawang putih bagi masyarakat di Indonesia cukup besar dan terus meningkat. Menurut data Susenas 2003, konsumsi per kapita bawang putih penduduk Indonesia mencapai 1,13 kg/tahun sehingga kebutuhan bawang putih nasional per tahun mencapai sekitar 250 ribu ton, dan jumlahnya cenderung meningkat karena pertambahan penduduk atau ragam penggunaan yang semakin banyak.
Ironinya produksi bawang putih kita tidak mampu memenuhi permintaan tersebut, bahkan tingkat produksi dan areal tanam cenderung menurun selama beberapa tahun terakhir ini. Produksi bawang putih Indonesia pada tahun 2006 hanya 20,78 ribu ton dengan areal tanam seluas 3284 Ha, sebagai gambaran keadaan produksi dan areal tanam tiga tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Keadaan Produksi dan Luas Panen Bawang Putih
Produksi luas panen Keadaan
2004 2005 2006
Produksi (ton) 28851 20733 20780
Luas Panen (ha) 4930 3280 3284
Dengan adanya perbedaan yang sangat tinggi antara kebutuhan dan produksi, menyebabkan terjadinya ketergantungan sangat tinggi pada impor bawang putih untuk memenuhi permintaan konsumen domestik.
Dari data yang ada, impor bawang putih pada tahun 2006 sebesar 295 ribu ton dengan nilai sekitar 103 juta US$, dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya volume dan nilai impor memperlihatkan kecenderungan terus meningkat. Gambaran ini sangat bertolak belakang dengan keadaan ekspor yang mana pada tahun yang sama hanya mencapai 20,4 ton dengan nilai sekitar 12 ribu US$. Data ekspor impor bawang putih pada periode tahun 2004 – 2006 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Keadaan Ekspor-Impor Bawang Putih
Volume- nila Keadaan
2004 2005 2006
Volume ekspor 39,3 18,1 20,4
Nilai ekspor 43.166 7.308 12.090
Volume impor 244.446,1 283.403,3 295.057,1
Nilai impor 53.474,3 66.700,1 103.066,9
Bawang merah maupun bawang putih dari berbagai negara mulai menguasai pasaran tradisional di Banjarmasin Kalimantan Selatan (Kalsel). Menurut pantauan di beberapa pasar tradisional Banjarmasin, tampak bawang merah asal Thailand, Vietnam, India dan China menggunung di kios pedagang pasar Lima atau pasar grosir terbesar di Kalsel. Akibat membanjirnya bawang luar negeri tersebut, menyebabkan bawang merah maupun bawang putih lokal tidak lagi kelihatan di pasaran. Mamak Arif, seorang pedagang besar bawang merah dan bawang putih di Pasar Lima Banjarmasin mengungkapkan, membanjirnya bawang putih dari China menyebabkan harga bawang putih jatuh di pasaran. Menurutnya, sejak puluhan tahun terakhir, harga bawang putih sekarang ini merupakan harga paling murah hanya Rp2.500 per kilogram untuk harga di pasar Lima, sebelumnya, minimal harganya Rp7.500. Pedagang sama sekali tidak mampu mengangkat harga bawang, yang kini jatuh menjadi Rp2.500. Hampir tiap hari bawang putih impor membanjiri pasar (kapan lagi.com).
Bawang merah dan bawang putih impor juga membanjiri pasaran di Kota dan Kabupaten Magelang. Hal ini terjadi seiring dengan kelangkaan stok bawang local. Di Pasar Rejowinangun, kota Magelang kondisi tersebut dianggap biasa berlangsung tiap tahun. Bawang merah impor berasal dari Thailand dan Vietnam. Setiap harinya, pasokan bawang merah yang masuk mencapai tiga hingga empat kuintal sedangkan komoditas bawang putih, merupakan impor dari RRC. Hal serupa juga terjadi di Pasar Muntilan, Kabupaten Magelang. Yang penyebabnya sama yaitu tidak adanya bawang merah atau putih lokal. Jika barang langka, harga melonjak. Jika sebelumnya hanya Rp 10.000 per kilogram (kg), maka saat ini, harga bawang merah tersebut sudah mencapai Rp 13.000 per kg. Sebaliknya, harga bawang putih justru turun, dari Rp 4.000 menjadi Rp 3.000 per kg (kompas.com).
Di Palembang, nyaris semua kebutuhan bawang putih didatangkan dari luar atau didominasi impor. Masuknya bawang itu disebabkan petani lokal tidak mampu bersaing di pasaran karena biaya operasional yang dikeluarkan jauh lebih tinggi, sehingga petani lokal lebih memilih menanam komoditi lain yang dianggap menguntungkan. Menurut Pengakuan sejumlah pedagang grosir bawang Pasar 16 Ilir Palembang hampir 90 persen kebutuhan bawang putih dan bawang merah didatangkan dari luar Palembang. Khusus bawang putih didatangkan dari Jakarta yang umumnya di impor dari China dan Thailand. "Tidak mampunya petani lokal untuk bersaing harga dengan produk luar membuat pedagang grosir bawang di Palembang berinisiatif mendatangkan bawang dari luar," kata Hj Fitri salah satu pemilik toko grosir bawang Sumber Rezeki di Pasar 16 Ilir Palembang (Sriwijaya Pos).
Sejumlah petani di Kecamatan Lambitu, saat ini mulai diresahkan dengan rendahnya harga bawang putih di pasaran. Padahal, saat musim tanam, harga jual bawang putih relatif tinggi, sekitar Rp5.000 hingga Rp6.000/kilogram. Kini, hanya ditawar sekitar Rp 1.500 hingga Rp 2.000/kg. suatu penurunan yang drastis. Sekretaris Camat Lambitu, Nurdin M Ali, BA, membenarkan keluhan petani itu. Mereka pernah meminta agar pemerintah menyetabilkan harga, sehingga tidak terlalu anjlok. Meski harga cenderung anjlok, kata dia, petani bawang putih di Lambitu tetap antusias menanam. Apalagi, tanaman itu sudah dilakukan sejak turun-temurun. Dia berharap dengan kesungguhan petani, sekali waktu ada investor yang mau menanam modal di Lambitu. Bawang putih lokal sejak dahulu tetap digemari, meski sudah banyak bawang putih yang berbiji besar dijual di pasar Bima (Nusatenggaranews.com).
Tragedi bawang putih terjadi semenjak diberlakukannya tarif rendah (hanya 5 %) terhadap impor bawang putih pada tahun 1996, lebih parah lagi dengan diberlakukannya AFTA tahun 2000 dan perjanjian ASEAN-China tahun 2005 maka terhadap bawang putih tidak lagi dikenakan tariff impor. Hal lain, kenyataannya impor bawang putih dapat dilakukan secara bebas oleh para importir tanpa menggunakan acuan standar mutu sehingga mutu bawang putih impor yang diperdagangkan di dalam negeri sangat beragam, namun secara umum harganya lebih murah dengan kualitas dan performan lebih baik.
Dengan adanya kondisi dan kebijakan tersebut, bawang putih produksi dalam negeri menjadi terdesak dan kalah bersaing, lama ke lamaan petani tidak tertarik lagi untuk melakukan usaha di bidang komoditas ini. Saat ini sentra produksi bawang putih terbesar hanya terdapat di provinsi Sumatera Utara sekitar 33% dari produksi nasional (mencakup kabupaten Simalungun dan Samosir), dan daerah produksi lainnya adalah provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Wonosobo) sebesar 18% dan Jawa Timur (Kota Batu) sekitar 15%. Ironinya keadaan produksi, areal tanam maupun minat petani untuk agribisnis ini cenderung terus menurun.
Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam agribisnis bawang putih lokal adalah daya saing produk yang rendah atau lemah, karena produktivitas, tingkat efisiensi usaha, kualitas dan performan produk yang rendah, yang menyebabkan bawang putih kita kalah bersaing di kandang sendiri. Beberapa permasalahan spesifik yang menghambat perkembangan agribisnis bawang putih antara lain adalah:
1. Kebijakan penurunan tariff impor, menyebabkan harganya jauh lebih murah dibanding bawang putih lokal, dampak lebih lanjut, gairah petani untuk menanam bawang putih semakin menurun karena tidak menguntungkan.
2. Kondisi tanah yang dieksploitasi terus menerus tanpa rotasi tanaman membuat tanah menjadi jenuh dan miskin hara sehingga tingkat kesuburan dan produktiivitas menjadi rendah.
3. Keterbatasan modal dan penguasaan teknologi budidaya maju oleh petani menyebabkan makin menurunkan luas tanam, produktivitas dan kualitas.
4. Penggunaan benih asalan (tidak bermutu) dari hasil seleksi petani sendiri sehingga produktivitasnya rendah.
5. Terjadinya serangan berbagai organisme penganggu tanaman.
Oleh karena itu diharapkan pemerintah bisa segera memberlakukan SNI wajib bagi komoditas bawang putih untuk mencegah masuknya produk berkualitas buruk, menyusul maraknya reimpor bawang putih meskipun telah ditolak oleh Badan Karantina Pertanian (Barantan). Impor bawang putih Indonesia volumenya cukup besar karena petani lokal hanya sanggup memenuhi 10% konsumsi dalam negeri. Jika tidak dikendalikan, maka bisa melebihi dari volume impor resmi (bisnis.com).

Jumat, 20 Februari 2009

Bahan Baku Potensial Bioetanol

A. Ubi kayu
1. Ketersediaan di pulau Jawa adalah sbb:
- Jawa Barat. Produksi 2,044,674 ton/tahun
- Jawa Tengah. Produksi 3,553,280 ton/ tahun
- Jawa Timur. Produksi 3,680,567 ton/tahun
Produksi Ubi kayu nasional sebesar 19.5 juta ton/thn dengan areal seluas 1.24 juta ha pada tahun 2005. Provinsi Lampung adalah daerah penghasil ubi kayu terbesar (24%), diikuti Jawa Timur (20%), Jawa Tengah (19%), Jawa Barat (11%), Nusa Tenggara Timur (4.5 %), dan DI Yogyakarta (4.2%)

2. Analisa usaha bioetanol untuk 100 lt/hari.
Asumsi: Harga beli ubi kayu Rp. 600/kg
Biaya produksi Rp. 6,336/lt
Harga jual bioetanol Rp. 7000/lt
Biaya total Rp. 633,615/hari Rp. 228,101,400/th
Penerimaan total Rp. 700,000/hari Rp. 252,000,000/th
Profit Rp. 66,385/hari Rp. 13,916,100/th
3. Sebaran penggunaan ubi kayu
Ubi kayu merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari ubi kayu cukup beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Dalam industri makanan, pengolahan ubi kayu dapat digolongkan menjadi tiga yaitu hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang dikeringkan (gaplek) dan tepung singkong atau tepung tapioka. Permintaan ubi kayu dari luar negeri sangat tinggi seperti cina, Kamboja, Prancis. sementara itu kebutuhan dalam negeri juga belum terpenuhi.

4. Budidaya ubi kayu
Ubi kayu adalah tanaman yang memiliki adaptasi sangat luas sehingga sering disebut sebagai tanaman pioneer. Tanaman ubi kayu tumbuh di daerah antara 300 lintang selatan dan 300 lintang utara, yaitu daerah dengan suhu rata-rata lebih dari 180C dengan curah hujan di atas 500 mm/tahun. Namun demikian, tanaman ubi kayu dapat tumbuh pada ketinggian 2.000 m dpl atau di daerah sub-tropis dengan suhu rata-rata 160C. Di ketinggian tempat sampai 300 m dpl tanaman ubi kayu dapat menghasilkan umbi dengan baik, tetapi tidak dapat berbunga. Namun, di ketinggian tempat 800 m dpl tanaman ubi kayu dapat menghasilkan bunga dan biji.
5. Lokasi pengolahan bioetanol ubi kayu
Sesuai pertimbangan kesediaan bahan baku dan harga yang terjangkau, maka lokasi yang potensial adalah sbb;
a. Kabupaten Sukabumi.
Ubi kayu tersebar di beberapa kecamatan, masyarakat sudah memiliki kebiasaan menanam ubi kayu. Harga ubi kayu maksimal dari petani Rp 700,-. Sudah ada program budidaya ubi kayu oleh pemerintah propinsi Jawa Barat.
b. Kabupaten Bogor
Ubi kayu tersebar di kabupaten bogor, sebagian besar daerah perbukitan ditanami ubi kayu sejak bertahun-tahun oleh masyarakat setempat. Harga ubi kayu maksimal dari petani Rp 1000,-.
c. Kabupaten Wonosobo/ Banjarnegara
Ubi kayu banyak terdapat di beberapa kecamatan, terutamaa di Daerah Wonosobo bagian selatan. Harga ubi kayu maksimal dari petani Rp 500,00.
d. Kabupaten Wonogiri.
Merupakan salah satu sentra ubi kayu di Jawa Tengah dengan tingkat produksi 1 juta ton/tahun.
B. Sorgum
1. Ketersediaan
sejak tahun 2004 hingga tahun 2008 sorgum telah dikembangkan di 6 propinsi dan 12 kabupaten, luasan pengembangan mencapai 22.650 ha. Daerah penghasil sorgum meliputi 31 kabupaten serta yang berpotensi hampir tersebar pada sebagian kabupaten. Peluang untuk mengembangkan mencapai luasan 6.203.850 ha yang berada di Jawa, Bali, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua dari lahan yang tersedia 6.226.500 ha.
- Jawa Timur, terdapat di Tuban
- Jawa barat, terdapat di Ciwide, Bandung
- Jawa Tengah, terdapat di Demak dan Grobogan. Total produksi tahun 2006 adalah 1.770 ton/tahun.
- Yogyakarta, terdapat di bantul, Gunung Kidul
- Nusa Tenggara barat
- Sulawesi Selatan
- Lampung
2. Analisa usaha
Asumsi: Harga beli sorgum Rp. 100/kg
Biaya produksi Rp. 3,752/lt
Harga jual bioetanol Rp. 7,000/lt
Biaya total Rp. 375,165 /hari Rp. 135,059,400/th
Penerimaan total Rp. 700,000/hari Rp. 252,000,000/th
Profit Rp. 324,835/hari Rp. 106,958,100/th
3. Sebaran penggunaan
Belum banyak dikenal oleh masyakat, sehingga belum ditemukan industri yang menggunakan bahan baku sorgum. Namun sorgum memiliki potesi seperti gandum sehingga besar kemungkinan akan dikembangkan kearah tersebut.
4. Budidaya
Tanaman sorgum mempunyai keistimewaan lebih tahan terhadap kekeringan dan genangan bila dibandingkan dengan tanaman palawija lainnya serta dapat tumbuh hampir disetiap jenis tanah.
5. Lokasi pendirian industri
Sesuai keberadaan bahan baku, maka daerah yang cocok diantarannya adalah Ciwide, Bandung, Indramayu, Garut, Demak, Grobogan dan Tuban.

C. Tetes tebu
1. Ketersediaan
Tetes tebu (molases) merupakan hasil samping industri gula
2. Analisa usaha
Asumsi: Harga beli molases Rp. 700/kg
Biaya produksi Rp. 4,702/lt
Harga jual bioetanol Rp. 7,000/lt
Biaya total Rp. 470,165/hari Rp. 169,259,400/th
Penerimaan total Rp. 700,000/hari Rp. 252,000,000/th
Profit Rp. 229,385/hari Rp. 72,758,100/th
3. Sebaran penggunaan
Tetes tebu banyak dibutuhkan untuk industri pembuat pupuk organik, MSG, balsem, bedak, pasta gigi, dan obat batuk.
4. Lokasi pendirian industri
Sesuai keberadaan bahan baku, maka industri di pulau jawa yang tepat adalah di daerah yang terdapat industri pengolahan gula seperti Majalengka, Indramayu, Pati, Solo, Yogyakarta, Kudus, dan Jember.

Rabu, 18 Februari 2009

POTENSI PORANG

1. Potensi Budidaya porang
Tanaman Porang merupakan tumbuhan herba dan "menahun". Memiliki batang semu (sebenarnya tangkai daun) yang tegak, berkulit halus, berwarna hijau pucat dan putih yang belang-belang dan berkelok-kelok. Di ujung batang memecah menjadi tiga batang sekunder yang akan memecah lagi menjadi beberapa batang dimana helaian daun berjajar beriringan. Pada setiap pertemuan batang terdapat bubil/katak berwarna coklat kehitaman sebagai bahan perkembangbiakan tanaman. Di akhir musim hujan, batangnya akan rebah dan mati, selanjutnya umbi porang akan istirahat (dorman) tidak mengadakan aktivitas pertumbuhan sepanjang musim kemarau. Pada musim hujan umbi yang dorman di dalam tanah akan tumbuh tunas baru sehingga lama-kelamaan umbi semakin mengecil dan akan semakin membesar menjelang musim kemarau dan begitu selanjutnya.
Tanaman Porang yang telah berumur di atas tiga tahun, akan muncul bunga yang disangga tangkai bunga tunggal yang keluar tepat di pusat umbi. Tangkai bunga akan menjulur ke permukaan tanah, panjangnya bisa mencapai 0,5 m s.d. 1,5 m. permukaan tangkai bunga berwarna hijau segar dan berbau tidak enak. Tongkol bunga terdiri dari tiga bagian. Bagian paling atas merupakan bunga mandul, bagian tengah bunga jantan dan paling bawah merupakan bunga betina. Tinggi tanaman dapat mancapai 1,5 m tergantung pada tingkat kesuburan tanah. Dari bunga ini akan menghasil biji - biji yang dapat digunakan sebagai benih/bibit.
Budidaya Porang termasuk budidaya tanaman yang cukup mudah dan tidak terlalu intensif pemeliharaannya. Tanaman Porang merupakaan tanaman sangat pontensial dikembangkan dibawah tegakan hutan negara maupun hutan rakyat, sebab:
1. Porang hanya tumbuh dan berkembang dengan baik dibawah naungan dengan intensitas cahaya sebesar 60-70%. Kondisi ini memerlukan kondisi tegakan hutan yang baik sehingga secara tidak lansung mencegah terjadinya Illegal Logging dan mempertahankan keberadaan hutan negara dan hutan rakyat dalam waktu cukup lama.
2. Mencegah terjadinya penggembalaan liar di dalam kawasan hutan, karena dapat merusak porang yang ada di dalamnya (Tanah menjadi padat),
3. Mencegah terjadinya kebakaran di kawasan hutan, karena akan mematikan perkembangan/kelestarian Porang yang ada di dalamnya,
4. Porang berfungsi hidro orologi sebagai tumbuhan semak di dalam hutan dan mencegah erosi (run off),
5. Mempunyai nilai ekonomis dan produktif,
6. Merupakan jenis tanaman toleran yaitu tanaman yang mampu hidup dibawah naungan.
7. Meningkatkan pendapatan / kesejahteraan masyarakat sekitar tepian hutan,
8. Menciptakan lapangan kerja baru.
Dengan demikian antara tanaman porang (Amorphopallus onchophyllus) dengan tegakan hutan (hutan negara/hutan rakyat) mempunyai hubungan simbiosis mutuaslisme (saling menguntungkan), sehingga tanaman porang layak untuk dikembangkan dalam upaya pelestarian sumberdaya hutan dan sebagai sarana pengalihan orientasi dan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan dari Hasil Hutan Kayu ke Hasil Hutan Bukan Kayu dalam rangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarkat. Budidaya Porang untuk satu hektarnya minimal 4 Ton per Hektar dan bila dibudidaya lebih intensif dapat mencapai 8 - 9 Ton per ha.
Tanaman Porang tidak dapat dikonsumsi atau digunakan secara langsung tapi harus diolah lebih lanjut karena mempunyai sifat gatal. Hasil olahan dalam bentuk tepung yang diolah secara pabrikan dan agak rumit. Tapi masyarakat mengolahnya dalam bentuk kripik kering yang dikirim ke pabrik. Perbandingan basah ke bentuk kering adalah 100 Kg basah menjadi 17 Kg Kering. Hasil olahan Porang ini digunakan untuk pencampur atau katalis makanan seperti jellly, ice cream, sosis, dan mie. Digunakan juga untuk bahan kosmetik. Pemasaran selain untuk kebutuhan dalam negeri juga diekspor ke Jepang, China, Eropa dan Kanada.

2. Porang di Indonesia
Tanaman porang yang hidup subur di kawasan hutan tropis ternyata memiliki nilai ekonomis yang cukup menjanjikan. Selain bisa ditanam di dataran rendah, Porang dengan mudah hidup di antara tegakan pohon hutan seperti misalnya Jati dan Pohon Sono. Beberapa bentuk usaha porang:
a. Budidaya porang
- Kerjasama antara Perhutani dan LMDH berkait pembudidayaan Porang seluas 37,4 Ha telah dimulai sejak tahun 2005- 2007 yang meliputi LMDH Ngudi Makmur Desa Katekan, Jati Makmur Desa Sumber Jatipohon, Wono Martani Desa Karangrejo, Batur Wana Desa Kemadohbatur, dan LMDH Hutan Lestari Desa Tambakselo.
- LMDH Jatimakmur yang memanfaatkan lahan mencapai 3.720 ha. Dari luasan itu, baru 500 ha yang ditanami porang. Selain di Kecamatan Rejoso.
- LMDH Argo Mulyo di Kecamatan Ngluyu, Kabupaten Nganjuk. Kelompok yang beranggotakan 239 pekebun itu membudidayakan porang di lahan 300 ha.
- Petani porang desa Klangon Kecamatan Saradan Madiun Jatim berhasil memetik keuntungan sebesar Rp 5,5 miliar dengan menanam Porang selama beberapa tahun. Di kawasan itu Porang dibudidayakan diatas lahan hampir 615 ha oleh 515 orang petani dengan produktivitas tanaman mencapai sembilan ton per ha Sementara total produksi adalah 5.535 ton sekali panen yang kemudian di ekspor ke sejumlah negara. Jepang adalah negara utama pengimpor Porang dari Indonesia. Umbi Porang menjadi menu favorit sebagian besar masyarakat disana setelah diolah menjadi makanan Konyaku (tahu) dan Shirataki (mie).
b. Industri pengolahan porang
- PT Agro Alam Raya adalah eksportir keripik porang di Jombang, Jawa Timur. Sedangkan kapasitas produksi hanya sanggup memasok 300 ton/tahun. Negara tujuannya adalah Australia. Sementara kebutuhan yang ditawarkan adalah 1000 ton/tahun. . Untuk memenuhi kebutuhan pasokan, Lukman mengerahkan 4 truk berkapasitas 9 ton yang setiap harinya menjemput porang segar dari para pekebun di Banyuwangi, Madiun, Nganjuk, dan Jember. Harga beli umbi porang segar di tingkat pekebun Rp800/kg.
- PT. Ambico, Ltd desa Carat, kec. Gempol, Pasuruan merupakan produsen olahan porang menjadi konyaku dan sirataki. Kebutuhan bahan baku segar saat ini 2.000 ton/tahun. Hasil olahan Ambico berupa shirataki dan konyaku. Menurut Sukirman, juru masak Restoran Hanamasa, kedua penganan itu merupakan menu utama yang disebut shabu-shabu. Shirataki dan konyaku dapat dikombinasikan dengan hidangan laut, daging, atau sayuran. Saat menikmati hidangan itu, biasanya tersedia saos thai suki yang rasanya kuat sehingga shirataki dan konyaku lebih nikmat.
- CV SKS Jaya dengan alamat Jl. Setra sari, Bandung, Jawa Barat merupakan industri pengolahan porang menjadi tepung dan chips.Mampu menghasilkan tepung dengan kadar glukomanan 60%

3. Prospek porang di Indonesia
a. Dengan harga jual Rp1.000/kg, pekebun masih memperoleh laba Rp500/kg. Hal itu lantaran pekebun tak perlu membeli atau pun menyewa lahan. Dengan bergabung dalam LMDH, pekebun mendapat hak pengelolaan lahan hutan secara cuma-cuma. Pemeliharaannya pun mudah. Cukup lakukan penyiangan bila tinggi gulma melebihi tanaman porang. Para pekebun juga dapat meraup penghasilan tambahan dengan menjual umbi katak yang jatuh untuk benih dan umbi segar. Harga jual umbi katak Rp8.000/kg. Bila umbi katak dibiarkan tumbuh, pekebun dapat menjualnya sebagai bibit dengan harga Rp2.000/batang.
b. Hasbullah salah seorang penyedia porang di nganjuk, jatum dengan harga Rp 6500,-/kg porang kering. Eksportir porang di Surabaya itu juga tidak menetapkan syarat ketat, yang penting umbi kering dan bersih dari cendawan. Umbi porang segar diiris dengan ketebalan 1 cm. Irisan itu kemudian dijemur hingga 3 hari. Pengeringan juga bisa dilakukan dengan oven. Agar benar-benar kering perlu pemanasan sekitar 1,5 jam. Umbi kering kemudian dikemas dalam karung plastik dan siap dikirim ke pabrik pengolahan di Surabaya.
c. Suratman di Desa Sambikerep, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Guru Sekolah Dasar itu membudidayakan porang di lahan 15 ha. Dari lahan itu Suratman memanen 75-150 ton umbi porang segar per tahun atau 5-10 ton/ha. Dalam setahun Suratman hanya sekali menanam porang. Sebab umbi porang hanya tumbuh subur di musim hujan. Umbi hasil panen dijual ke pengepul. Dengan harga jual Rp1.000/kg, total omzet yang diraih Suratman Rp75-juta-Rp150-juta per tahun atau Rp6,25-juta-12,5-juta per bulan. Dari harga jual itu Suratman mengutip laba bersih Rp500/kg atau Rp3,12- juta-Rp6,25-juta per bulan. Di Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, itu tak hanya Suratman yang menangguk laba dari porang.
d. Menurut Suparno, wakil ketua Forum Komunikasi LMDH Jawa Timur, pekebun porang juga meluas di berbagai daerah seperti Madiun, Banyuwangi, dan beberapa daerah di Nusa Tenggara Barat. Masing-masing pekebun pun berlomba-lomba memperluas lahan garapan.
e. Pohon industri porang: umbi bisa dibuat : chips, chip setelah dimurnikan jadi tepung dibuat beraneka makanan: mie, tahu jepang, beras tiruan rendah kalori, bermacam-macam menu makanan namun baru jepangb yg bisa buat. saya belum penelitian utk itu. demannya ngak ada di Indonesia. nanti akan saya muat tulisan saya tentang ini. saya baru buat mie instan dan pangan darurat. juga dari tepung dibuat glukomanan bahan baku industri macam-2. limbah padatnya masih sdg riset utl lem dan lem lengket pada suhu kamar. Mata rantai industri porang ya: produsen biasanya petani hutan, tengkulak dea, tengkulak kecamatan, tengk. kota, tengk propinsi, industri pabrik industri olahan makanan spt; jelly drink, dsb. Manfaat lain porang antara lain dipakai sebagai perekat lem pesawat terbang, campuran bahan baku industri, bahan dasar industri perfilman, hingga diolah menjadi minuman penyegar tubuh. (H41-16) (Suara Merdeka).

4. Kendala usaha porang
a. Terbukanya peluang usaha porang bukan berarti tanpa aral melintang. Jumlah eksportir porang yang masih terbatas dikhawatirkan tercipta ketergantungan pasar. Menurut Lukman Hakim, saat ini baru terdapat 5 eksportir porang di Indonesia. Akibatnya, kendali harga ada di tangan para eksportir. Modal yang terbatas membuat para pekebun hanya mengandalkan keuntungan dari hasil penjualan umbi segar. Padahal, bila dijual dalam bentuk olahan, keuntungan bisa berlipat.
b. Salah satu zat manan itu digunakan sebagai bahan perekat, pembuat seluloid, kosmetik, makanan, hingga bahan peledak. Peluang usaha porang yang menggiurkan mendorong para pemasok mengambil jalan pintas. Mereka lebih memilih berburu di hutan-hutan ketimbang membudidayakannya di lahan. Akibatnya, populasi porang di alam terancam. Padahal, untuk memperoleh bibit para pekebun juga mengandalkan pasokan alam. Jika demikian, harta yang terpendam itu perlahan sirna (trubus).

POTENSI BIOETANOL

A. Aspek Pasar
a. Pasar International.
Peluang bisnis biofuel di dunia sangat besar. Berdasarkan laporan Clean Edge seperti dikutip buku The Clean Tech Revolution (2007) karya Ron Pernick dan Clint Wilder, pasar biofuel di dunia tahun 2006 mencapai 20,5 miliar dolar AS (untuk etanol dan biodisel). Nilai pasar itu akan meningkat empat kali lipat pada tahun 2016. Di AS, etanol dicampur dengan gasoline (premium) dengan kadar campuran 2-85 persen. Di Brazil, sudah diproduksi mesin-mesin yang bisa memakai etanol seluruhnya (100 persen). Namun demikian, kondisi pasar etanol di Brazil sangat fleksibel. Jika harga BBM tinggi sekali, maka campuran etanol pada premium diperbesar, dan sebaliknya. Tahun 2006, produksi etanol di dunia mencapai 12 miliar galon. Di AS, campuran premium dan 10 persen etanol (E-10) dipakai mobil-mobil tanpa modifikasi mesin. Sedangkan untuk campuran 85 persen etanol (E-85), mesinnya dimodifikasi dengan flex-fuel vehicle (FFVs). Jika produksi etanol di dunia makin besar dan kendaraan di dunia sudah pro-biofuel, niscaya semua kendaraan di muka bumi akan memakainya. Jika sudah demikian, ‘emas hitam’ yang berasal dari kilang-kilang minyak di Timur Tengah akan bergeser ke ‘emas hijau’ yang berasal dari kebun-kebun minyak di daerah tropis seperti Asia dan Amerika Latin.
b. Pasar Nasional
Pada kurun pertama 2007-2010 selama 3 tahun pemerintah memerlukan rata-rata 30.833.000 liter bioetanol per bulan. Dari total kebutuhan itu cuma 137.000 liter bioetanol setiap bulan yang terpenuhi atau 0,4%. Itu berarti setiap bulan pemerintah kekurangan pasokan 30.696.000 liter bioetanol untuk bahan bakar. Pangsa pasar yang sangat besar belum terpenuhi lantaran saat ini baru PT Molindo Raya Industrial yang memasok Pertamina. Dari produksi 150.000 liter, Molindo memasok 15.000 liter per hari. Molindo menjual biopremium melalui Pertamina Rp5.000 per liter. Pertamina menerima berapa pun pasokan bioetanol dari pihak swasta. Yang penting memenuhi syarat berkadar etanol minimal 99,5%. Rata-rata bioetanol hasil sulingan produsen skala rumahan berkadar 90-95%. Agar syarat itu tercapai, produsen dapat mencelupkan penyerap seperti batu gamping dan zeolit sehingga kadar etanol melonjak signifikan. Selain itu, pemasok harus mengantongi izin usaha niaga bahan bakar nabati dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Trubus).
c. Produsen bioetanol
- PT Molindo Raya Industrial di Malang, Jawa timur. Kapasitas produksi 48000 Kl/tahun. Bahan baku tetes tebu
- LPDME di Kendal. Bahan baku tetes tube, porang, ubi kayu
- Pengolahan Bioetanol di Ajibarang, Banyumas. Kapasitas produksi 8000 lt/hari. Bahan baku ubi kayu
- PT Bio Prima Energi Mandiri di desa Munggu, Kec. Petanahan, Kebumen. Kapasitas 300 lt/hari. Bahan baku tebu, jagung, ubi kayu
- Pak Budi Sulaeman di Doplang, Karang pandan, Karanganyar. Kapasitas 480 lt/hari. Bahan baku tetes tebu
B. Survei lapang
a. Bahan baku dan lahan pengembangan ubi kayu
Ubi kayu di jawa barat banyak di kabupaten Sukabumi dan Bogor. Di sukabumi tersebar di kecamatan Cikembar, dan Ciemas yaitu daerah Sukabumi bagian selatan. Di kabupaten Bogor tersebar di kecamatan Citeureup dan babakan Madang. Kisaran harga ubi kayu di kebun Rp 700,-/kg. Ditemukan banyak lahan di daerah sukabumi selatan yaitu milik perum perhutani, cukup potensial untuk pengembangan ubi kayu dan atau sorgum. Didaerah Garut dan Bandung juga terdapat banyak lahan yang berbukit bekas tanaman ubi kayu.
b. Kompor bioetanol
Ada beberapa kompor bioetanol yang sudah di kaji diantaranya:
- Kompor buatan pak Soekaeni dari Cicurug
- Kompor Bahenol ( bahan hemat etanol) buatan pak Budi Sulaeman dari Karanganyar
- Kompor dari PT Kreatif energy yang sebenarnya impor dari luar negeri. Ada 3 jenis
- Kompor Repindo buatan pak Mansyur dari Yogyakarta
- Kompor buatan PT Agro Farmaka sendiri hasil modifikasi beberapa kompor sebelumnya
Dari semua kompor yang telah dikaji, masih terdapat beberapa kelemahan yang harus di sempurnakan lagi. Beberapa yang masih harus di sempurnakan adalah sistem pembesaran api, tabung penampung bioetanol, warna nyala api, dan sistem mematikan api.
c. Produk bioetanol
Ada beberap bioetanol yang dihasilkan oleh beberapa produsen. Diantaranya:
- Bioetanol kadar 90% telah dihasilkan oleh pak Soekaeni di Sukabumi dan pak Himawan di Cilegon
- Bioetanol kadar 80% oleh PT Kreatif Energi
- Bioetanol kadar 50% oleh pak Budi Sulaeman
- Bioetanol kadar 75% oleh LPDME Kendal
- Bioetanol jeli yaitu bioetanol dalam bentuk padat. Bioetanol jeli diproduksi dengan mencampur bioetanol dan bahan pengental.
C. Hasil tinjauan lapang dan wawancara
Dari hasil tinjaun dan wawancara dengan masyarakat setempat, telah diperoleh beberapa informasi diantarannya:
1. Masyarakat pada umunya belum tahu bahwa ubi kayu itu dapat menggantikan minyak tanah. Bahkan sebagian yang lain tidak tahu sama sekali kalau tanaman bisa jadi minyak.
2. Petani ubi kayu termasuk petani kurang sejahtera sebab kemampuan mereka menanam ubi kayu biasanya tanpa modal besar. Bibit didapat dari sisa tanaman sebelumnya. Petani cenderung tidak melakukan aktivitas berarti untukmerawat tanamannya itu
3. Ubi kayu sebenarnya tersebar di sebagian besar kawasan jawa barat. Pada umumnya ubi kayu menjadi tanaman sela. Pada daerah sentra ubi kayupun belum ditemukan kelompok tani khusus penanam ubi kayu yang sudah lama terbentuk. Kalaupun ada yaitu di kecamatan Ciemas itu karena adannya program dari pemerintah jawa barat yang usia kelompoknya masih baru.
4. Sebagian besar masyarakat daerah sentra ubi kayu menyambut positif adanya program pemanfaatan ubi kayu menjadi bioetanol. Mereka yakin akan banyak petani yang mau menanam ubi kayu dengan perawatan lebih.
5. Harga ubi kayu di sebagian besar jawa barat Rp 700,-/kg basah. Harga lebihrendah bisa ditemukan pada daerah yang semakin jauh dari kota.
6. Bioetanol sebagai pengganti minyak tanah belum sepenuhnya dibutuhkan masyarakat saat ini. Untuk daerah pedesaan, mereka masih menggunakan kayu yang tersedia di kebun-kebun atau hutan. Program konversi ke Gas juga masih mampu mencukupi meskipun dibeberapa daerah terjadi kelangkaan. Harga minyak tanah sendiri masih relative terjangkau oleh masyarakat. Apalagi kualitas nyala api dari kompor bioetanol yang belum bisa bersaing, kalaupun ada beberapa kompor yang nyalannya biru iru saja harga belinya masih mahal.